oleh : Akarui Cha
Bau-bauan aneh menusuk-nusuk rongga penciumanku.
Rasanya tak nyaman membuatku ingin terus menggosok hidungku. Udara yang sewarna
dengan kabut itu tak henti melayang, menyerang aku yang bingung harus melarikan
diri kemana lagi. Begitu ingin aku berteriak, berharap ada tangan yang terjulur
lebar untukku berlindung. Tapi tangan-tangan di bawah sana malah melempari aku
dengan udara yang menyesakkan ini.
Kupaksa kakiku yang telah lemas untuk
berpindah tempat. Kuayunkan tanganku, mencari tempat lain untuk berlindng dari
gempuran kabut berbau pahit itu. Setiap aku berusaha berlindung, mata mereka
yang menatapku di bawah sana tak henti menembakkan kabut panas itu padaku.
Ucapan mereka, tak ada yang kumengerti. Aku hanya tahu, mereka benci padaku,
mereka ingin aku menghilang dari tanah mereka.
“Tolong aku!” Teriakan mereka,
juga kabut-kabut berbau masam yang mereka ciptakan, membuatku mual dan
menghilangkan rasa lapar yang kutahan sejak sehari lalu.
Wusss .... Kembang api yang meluncur tak begitu jauh dari jangkauan tanganku, mengingatkan aku pada hari kepergian Delilah, saudariku. Pikiranku seketika memunculkan wajah manisnya yang cokelat gelap. Senyum lebar yang selalu dia tunjukkan ketika kami berbagi makanan lezat di suatu siang, di awal bulan September dua tahun yang lalu, membuat mataku berembun. “Apa kamu akan mengajakku ke tempatmu, Delilah?” perasaanku begitu kuat, seolah Delilah memanggilku menuju sisinya. Dia menagih janjiku yang ingin menghadiahinya makan siang lezat di awal bulan September.
Wusss .... Kembang api yang meluncur tak begitu jauh dari jangkauan tanganku, mengingatkan aku pada hari kepergian Delilah, saudariku. Pikiranku seketika memunculkan wajah manisnya yang cokelat gelap. Senyum lebar yang selalu dia tunjukkan ketika kami berbagi makanan lezat di suatu siang, di awal bulan September dua tahun yang lalu, membuat mataku berembun. “Apa kamu akan mengajakku ke tempatmu, Delilah?” perasaanku begitu kuat, seolah Delilah memanggilku menuju sisinya. Dia menagih janjiku yang ingin menghadiahinya makan siang lezat di awal bulan September.
“Lihat, banyak makanan lezat di sini, Deboya. Kamu tahu apa nama tempat ini? Aku
memberinya nama ... Delicious ... seperti yang sering dikatakan makhluk-makhluk
berkepala kuning yang dulu menemui kita di rumah, di hutan kita, Deboya.”
Delilah benar-benar muncul di hadapanku, mengulurkan tangannya padaku. Saat
bayangan Delilah semakin jelas, kurasakan tubuhku hangat, lalu memanas. Aku
diselimuti api yang berkobar menghanguskan bulu di kulitku. Bau hangus dari
tubuhku, serta bau masam kabut yang tadi menyerangku membuatku semakin pusing.
Genggamanku tak sanggup lagi menahan tubuhku. Bukkk .... Makhluk-makhluk yang
tadi kini mengerumuniku. Mereka membawa tubuhku ke tempat yang begitu sempit,
namun aku tak sanggup berontak karena seluruh tubuhku mati rasa.
***
Bulan September akan segera tiba, dan aku telah menemui Delilah di
Delicious lebih dulu daripada janji kami. Kami akan melewati Sepetember ini
dengan rasa kenyang yang tak pernah berakhir. Kami akan tidur dengan nyaman di
dahan pohon manapun yang kami inginkan di malam hari, sembari menatap langit
berbintang yang membentuk rasi kami, rasi orangutan. “Selamat datang di
Delicious, Deboya.” Pelukan Delilah menghilangkan perih di tubuhku, di bawah
purnama bulan September.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !