aku masih menyisir waktu yang memutih di kepalamu
tentang pedang-pedang tajam yang tertebas di leher zaman
tentang kerudung yang mendung
tentang nyanyian kepodang yang hilang
tentang kidung Ebiet G. Ade yang lengang
bukan, “siapa suruh datang Jakarta!”
kubaca di surat kabar
anjiman kembali berlabuh
di bandar-bandar besar sejarah: bandar kelesah
angin-angin dingin
hujan-hujan angin
terban waringin
sudah, “lupakan papan iklan itu!”
ke mana selimutmu, wahai ibu
garudaku kedinginan di puncaknya
lehernya kaku, kau tahu
kupinjam perisainya untuk memayung asa
gedung megah, mentari sebah
di tepi jerambah, perlahan rebah
mak, “banjir sebentar datang!”
bolehkah aku
mencuci bajumu yang usang
yang tak usai berperang
yang likat erang berkalang
itu ucapan selamat datang
dan riuh air pancuran
hh, lagi-lagi harus tertebas zaman
mari ..., “kuajak kau ke rimba Kalimantan!”
Pdg, 2012
Jakarta, Tangisku Pecah Berderai!
*Febri Mira Rizki*
*Febri Mira Rizki*
Ada desah di nafas kota yang terengah
masih tentang polusi yang menyelimuti resah
setiap sudut basah memaku sesak yang mendesak
di mana pori-pori gelisah jadi hiasan di akar kota.
Jakarta, Ibu kota Indonesia kaya raya
dihuni padatnya insan yang giat mencari jati diri
melang-lang buana hidup masih juga berdikari;
membina juang meski raga retak berdetak.
Mengais dan mengemis jadi pemandangan
yang kerap terjadi tanpa simpati;
Acuh saja berlintas di depan bayi yang ditinggal tanpa asi.
Kokohnya jembatan menjadi tempat huni teraman.
Jakartaku yang rupawan
Basuhlah kami dalam angan tangan-tangan dermawan!
Rengkuh dan dekap kami oleh rasa yang ternyaman!
agar tangis ini tak lagi pecah menjadi darah.
Ranah Kompak, 11 Juni 2012
Keren! Paling suka puisi pertama. :)
BalasHapusTerima kasih atas kunjungannya, sila diapresiasi :)
Hapuswah, keren.
BalasHapus:)
Terima kasih atas kunjungan dan kiriman puisinya. Ditunggu kiriman puisi lainnya ke rubrik puisi C-Magz ya :)
HapusSalam
keren! ^^
BalasHapus