Artikel Acak:
Home » , » Flash Fiction : Denok

Flash Fiction : Denok


Si Denok
~Akarui Cha~

            Kala itu, kau selalu muncul di mana pun. Di setiap arah yang tertuju oleh kameraku di antara keramaian Kota Tua saat ulang tahun Jakarta, kau tak pernah absen dari sana. Anggun langkahmu perlahan meniti tangga menuju pintu masuk Museum Fatahillah. Gaun putih selutut berpita merah jambu yang mengitari pinggang rampingmu, menggoda tanganku untuk memutar lensaku dan mengabadikan sosok manismu di sana. Sepatu ala balerina yang membungkus kakimu yang mungil, menambah cantik gerak langkahmu.

“Foto aku di sana, Ya!” rajukmu.
Kutujukkan lensa kameraku pada sosok menggemaskanmu. Ah, senyummu begitu cantik, Sayang.

Kau berputar cepat hingga rok gaunmu itu ikut terbawa gerakmu. Ah, Denok! Posemu begitu natural kali ini. Puas kau berpose di tangga itu, kau melambaikan tanganmu, memintaku mengikuti langkahmu menuju ke depan Museum Keramik.

“Sayang, kita dilarang memotret di dalam!” aku memperingatimu. Namun kau hanya menanggapiku dengan gelengan kepala. Kau malah melambaikan tanganmu, memintaku memotretmu dari jauh.

“Sayang!” bujukku. Tak tahukah kau, aku tidak terlalu nyaman berada jauh darimu di tengah keramaian seperti ini?

Kau tetap saja berpose di sana. Bersandar pada tiang penyangga besar ala Yunani yang bercat putih bersih. Ketika seseorang lewat dengan sepeda ontel, kutekan tombol kameraku dan gambarmu terekam sudah. Sayang, kau serupa noni Belanda dalam potretmu barusan. Kau berikan angle terbaik wajahmu, tadi.

Setelah beberapa sepeda ontel lewat di depanku, serombongan penari ondel-ondel pun menutupi pandanganku dari sosokmu. Aku khawatir kau berlari dan bersembunyi entah di mana. Rasa takutmu pada boneka besar yang senang menari itu, begitu aku pahami.
***

“Ayah. Berdirilah di sana, biar aku potret!” suaramu yang kini telah semakin membulat, menyadarkanku dari kenangan masa lalu.

Kamera kebanggaanku sedari muda, kini bertengger di lehermu. Wajahmu yang semakin ayu itu, tersenyum lebar memandang tubuhku yang menua, berdiri dengan pose biasa di atas tangga yang mengarah ke pintu masuk Museum Fatahillah. Keramaian muda-mudi berpakaian khas Betawi yang lalu lalang di belakangku, membuatku merasa sedikit malu. Saat beberapa penari Ngarojeng siap untuk menari tepat di belakangku, telunjukmu menemukan tombol kamera itu dan mengabadikan sosokku.

Ah, Denok, anak gadis kesayangan Ayah. Kau tumbuh semakin cantik, Nak. Saat Jakarta sibuk mempercantik diri di tiap ulang tahunnya, kau telah jadi gadis tercantik milik Ayah di setiap hari perayaan Jakarta kita.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Sponsor

Sponsor
 
Support : Johny Template | Mas Template
Powered by : Blogger
Copyright © 2012-2013 C-Magz - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Edited by Baser