Untuk Ron - Tris Anova Arlim
“Lexa … buku-buku itu hanya akan membuat masalah untuk kita. Kamu tahu
bagaimana tabiat Bu Aksan tetangga kita itu kan, Nak?” ucap Bu Hana
pada putri tunggalnya.
Lexa tertegun. Meskipun tangannya tak
beranjak dari buku-buku dan kardus kecil itu, tapi konsentrasinya telah
terusik oleh perkataan ibunya barusan.
Ya, siapa yang tak tahu
tentang peraturan Bu Aksan pada pembantunya? Ia akan marah bila satu
saja kegiatan aneh dilakukan oleh mereka dalam jam kerja. Sementara,
jam kerja untuk pembantu di rumah itu, nyaris 24 jam dikurangi 5 jam
waktu tidur. Lexa bahkan pernah mendengar saat salah satu di antara
mereka dimarahi karena ketahuan membaca koran saat membereskan meja
teras.
Usai memasukkan buku terakhir, ia menghampiri ibunya yang menanti reaksi sejak lima menit lalu.
“Bu … Ibu tenang saja, ya. Lexa sudah mengatur semuanya dengan rapi.
Kasihan Ron, Bu. Dia masih ingin banyak belajar. Dia butuh kita,”
ucapnya berusaha meyakinkan ibunya.
Bu Hana kehilangan
kata-kata untuk melarang putrinya yang sudah terlanjur teguh ingin
mengantarkan sekardus buku pada Ron, tukang kebun di rumah tetangga
mereka.
Siang itu juga Lexa mengendap ke pintu belakang rumah
Bu Aksan. Ron, anak laki-laki 12 tahunan itu sudah menunggu di sana.
Pintu halaman belakang yang awalnya tak pernah dibuka itu kini menjadi
tempat mereka bertemu.
Persahabatan mereka memang bermula di
pintu belakang itu. Ron yang sedang merapikan tanaman, melihat Lexa
mengendap-endap hendak menangkap Pusy, kucing peliharaannya yang
mendadak melarikan diri tiga hari yang lalu.
Merekapun saling
mengenal. Di sanalah akhirnya Lexa tahu, Ron si tukang kebun seusianya
itu, sebenarnya sangat ingin bersekolah. Sayangnya itu tak mungkin.
Pekerjaan ini saja baru didapatnya untuk bisa menyambung hidup
keluarga.
Semangat Ron membuat Lexa terpesona. Dari sekian
perasaan yang menyergapnya, haru adalah yang paling utama. Sejak itulah
muncul keinginannya untuk membantu.
Kini hamparan di bawah pohon
trembesi telah disulap menjadi taman bacaan. Dua sahabat itu larut
dalam bacaan masing-masing. Serius, lalu sesekali cekikikan saat
menemukan tulisan yang menyulut tawa.
“Roonn …!” Bagai dikomando, keduanya tersentak serempak.
“Astaga! Itu suara Nyonya, Lex. Ayo, kamu harus sembunyi.” Dengan sigap
Ron membereskan buku-buku yang berserakan di hadapan mereka.
“Rooon …. Ya, ampun! Ngapain kalian di sini? Lexa? Kamu nggak sekolah?”
Bu Aksan shock melihat mereka yang sedang kalang kabut dengan buku-buku
itu.
“Em … nanti siang Bu,” ucapnya gugup. Mereka bertiga
hanya sanggup saling berpandangan. Rasa kesal bercampur heran masih
menempeli wajah wanita itu.
“Mami … Mami ….” Syifa, putri
kecil Bu Aksan tiba-tiba datang menghampirinya. “Mi … jawaban yang ini
aku nggak tahu. Mata uang Korea Selatan itu apa, sih, Mi?”
Sejenak perhatian Bu Aksan teralihkan. Diperhatikannya lembaran tugas
putrinya dengan seksama. “Em … apa guru lesmu nggak ngasih tau,
Sayang?” ucapnya balik bertanya. Syifa menggeleng pelan.
“Maaf, Nyonya. Mata uang Korea Selatan itu Won,” ucap Ron ikut membantu.
“Wah … Kak Ron tahu, ya? Hore … pilihannya ada, nih, Kak,” teriak Syifa, senang.
Ada binar di mata Lexa. Ternyata Ron memang bukan orang sembarangan.
Seingatnya, baru sejam yang lalu buku RPUL yang dibawakannya,
dibolak-balik oleh Ron.
Sementara itu, wajah Bu Aksan
menyiratkan aura yang sulit untuk dipahami. “Ya, sudah. Saya harus ke
salon dulu,” ucapnya kemudian. Ia pergi tanpa mengomentari apa-apa
lagi, lalu membiarkan Syifa lanjut bertanya pada Ron tentang
pelajarannya.
Lexa tersenyum melihat semua itu. Kali ini ia yakin, buku-buku lamanya akan aman berada di sini.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !