Bingkisan Bersampul Perak
Aida Assyifa
“Happy Anniversary,” ucapnya lembut begitu aku
menekan tombol answer pada ponselku.
“Happy Anniversary juga,” jawabku bahagia.
“Aku ada kejutan untukmu,”
“Oya? Apa?”
“Sesuatu, aku tadi meletakkannya di depan rumahmu,”
“Di depan rumah? Gila!” ucapku menyadari
kekonyolannya.
“Kok gila, sih. Kan harusnya romantis,” Ucapannya
membuatku tergelak.
Harus kuakui, kali ini kekonyolannya memang sangat
romantis. Hatiku mendadak penuh bunga saat kudapati sebuah bingkisan bersampul
perak diikat dengan pita emas di depan pintu kost-ku.
Tapi, seketika bunga di taman hatiku layu dan
berganti rasa yang menyesakkan. Sakit, ketika kudapatkan sebuah buku bersampul
hitam dengan seorang perempuan dan selendang merah maroon di dalam bingkisan
perak itu.
Kemanisan sekejap menjadi getir yang membuat sukmaku
merintih, perih. Kebahagiaan yang tercipta oleh romantisme malam ini menguap
pergi meninggalkan jejak pedih di hati.
Ponselku bergetar. Aku tahu itu pasti panggilan dari
Alvin. Ia pasti mau bertanya tanggapanku tentang kado darinya. Harusnya aku
suka. Aku suka membaca, aku suka buku. Jarang sekali aku melewati hari-hariku
tanpa membaca. Tapi, kali ini hatiku menolak. Aku tidak suka buku ini. Aku
tidak suka nama yang tertera di buku ini. Aku tidak suka penulisnya.
Kenapa harus buku ini, Al? Bukankah banyak buku lain
yang bisa kau hadiahkan sebagai kado hari jadi kita. Kenapa harus buku ini?
Buku yang di dalamnya ada nama seseorang yang pernah jadi masa lalumu.
Begitu banyak pertanyaan yang bergejolak di hatiku.
Ingin rasanya aku merobek-robek buku ini, tapi haruskah aku mengorbankan isi di
buku ini demi perasaanku yang tertutup cemburu?
Ponselku kembali bergetar, kali ini segera ku tekan
tombol answer.
“Aira, kenapa dari tadi aku telepon nggak
diangkat?”
“Tadi aku di kamar mandi,” ucapku beralasan
“Ooo … Aku kira kamu nggak suka sama buku yang aku
kasih,”
“Mmm … Suka, kok,”
“Jangan bohong,”
“Nggak, kok,”
“Aku sengaja menghadiahkan buku itu padamu,”
Aku tidak bersuara. Aku sedang tidak ingin bicara.
Kubiarkan Alvin mengeluarkan apa yang ingin dia katakan.
“Aku ingin kamu tahu bahwa sehebat apapun dia, aku
tetap memilihmu. Bagiku dia hanya teman. Dia hanya masa lalu dan kamulah masa
depanku, Aira,”
Hujan seketika luruh dari kedua bola mataku. Tuhan,
maafkan aku karena telah berburuk sangka pada Alvin.
“Maaf kalau ternyata aku menyakitimu. Aku hadiahkan
buku itu karena aku ingin kamu tahu bahwa kamu adalah perempuan yang memiliki
arti di hidupku. Seperti judul buku itu.
“Kamu nggak salah, Vin. Aku yang terlalu buta dengan
cemburuku,”
“Kalau begitu, mau kah kau memberi satu hadiah
untukku?”
“Apa?”
“Percaya padaku.”
Aku mengiyakan permintaan Alvin, dan malam ini
kembali menjadi malam yang indah. Kuberanikan diri membuka buku itu. Membaca
bagian yang dituliskan oleh perempuan itu terlebih dahulu. Dan aku menangis.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !