FF : Seratus Liang Luka Gandari
Seratus Liang Luka Gandari
Oleh: Arista Devi
Sengaja wanita itu membalut matanya sendiri dengan
sehelai kain hitam, demi kesetiaannya mendampingi suaminya yang buta. Seperti
kerelaannya menerima takdir perjodohan, ia pun rela kehilangan pandangan akan
indahnya dunia.
Hari-hari yang dilewatinya dalam kegelapan menjelma
terang berpelangi, ketika rahimnya menjadi perantara kehadiran putra-putranya
ke dunia.
“Kau pasti kelelahan sekali, Dinda.”
“Tidak, Kanda. Tidak ada kata lelah untuk mencintai
buah hati kita.”
Dengan penuh kasih sayang dan menahan keletihan,
Gandari mengurus 100 orang putranya, menggantikan pakaiannya, menyusuinya satu
persatu, mendidik dan membesarkannya hingga dewasa. Tak henti ia berdoa, semoga
putra-putranya menjadi ksatria sejati suatu hari nanti.
***
“Kanda, aku punya firasat sesuatu yang buruk akan
terjadi, apakah ini semua karena salahku?”
Gendari menumpahkan kegelisahannya kepada suaminya.
Seperti halnya Kunti, ia pun selalu menasehati Kurawa agar mengikuti dharma,
berbuat kebaikan dan berdamai dengan para sepupunya. Namun meski para Kurawa
menyayanginya, mereka mengabaikan nasehat-nesehat Gandari.
Gandari dan suaminya yang telah melewatkan hari-harinya
dalam gelap, memiliki imaginer yang kuat.
“Kanda dengarkan suara guruh yang berkejaran dengan
hujan itu, ia berkata-kata ….”
“Brahma mencipta kematian.”
“Dewa kematian akan datang, ia melambaikan tangannya.
Aku takut, Kanda.”
“Tenanglah Dinda, semua akan baik-baik saja.”
***
Harapan–harapan Gandari pupus sudah, ketika
diketahuinya kelanjutan sejarah mengutuk putra-putranya tersayang. Disimpannya
tangisan dalam batin. Ia berhenti meratap dan mengeluh, berusaha selalu tegar
mendengar kabar kematian darah dagingnya setiap hari.
“Jangan hanya diam, katakanlah apa yang terjadi?”
Gandari mendengar suaminya bersabda, ia meraih jemari
suaminya. Dalam genggaman Gandari, jemari itu bergetar.
“Raja Duryudhana telah
gugur, pahanya remuk oleh amukan gada Bima. Semua itu karena petunjuk Kresna.”
“Katakan kepadaku, apakah
yang paling menyakitkan dari perang? Kekalahan? Atau kebencian? Sempurnalah
sudah rasa kehilanganku ….”
Gandari ingin
berkata-kata, berteriak, dan meratap. Namun suaranya tercekat ditenggorokan.
Gelap semakin pekat. Senyap beberapa saat.
Hingga tangis Gandari pun
pecah, airmata yang selama ini ditahannya akhirnya tumpah juga di Hastinapura.
Bagaimanapun ia hanya seorang wanita biasa. Ia kalut. Di tengah kekalutan itu
keluarlah kutuknya yang begitu berani.
Disaksikan guntur dan
diamini para Dewa. Gandari berteriak ''Tak akan selamat keturunan Kresna,
karena membiarkan perang terjadi. Akan saling membunuhlah anak-anak Kresna
hingga punah, karena membiarkan Kurusetra berdarah-darah. Dewa-dewa dengarkan
kutukku.''
Bersama suaminya Gandari
menyempurnakan mayat putra-putranya yang tercecer tak karuan dan mendatangi
penguburan mereka satu persatu. Seratus anak berarti seratus upacara penguburan
yang harus dihadirinya. Seratus jasad yang harus disempurnakan, juga seratus
liang luka di hati Gandari.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !