SEKOTAK MENGGEBU
Oleh Adrian Monteque
Di atas sana masih
terlihat oleh kedua bola mataku setitik demi setitik cahaya yang
berpendar dalam gayutan suasana yang terperangkap kegelisahan. Kucoba
menutup mata, bintang itu masih ada dalam kepingan terminal memori.
Hingga malam menyapa berubah menjadi balutan dalam klise yang nampak di
keramaian. Atau mungkin tidak.
Gelap yang kusapa sekian kali,
batu-batu Ivy masih menerimaku dengan hangat. Musim semi yang merubah
wajah tanah kota klasik yang dari dulu mulai kutapaki. Inilah mimpiku,
harapanku dan inilah sebuah ekoplasma bualan dari sudut pandang yang
tercipta.
Angin malam mulai mengusik ingatan
masa lalu. Daun-daun kering yang menyapaku dengan ramahnya membuatku
berdiri tegak di atas batu Ivy di sepanjang sungai Seine.
****
Awan seolah enggan lagi bersahabat
dengan matahari. Terik yang terkulai dengan peluh, sekarang awan itu
mulai tertutupi mendung. Kumasih berbaring di dalam rumah pohon bersama
temanku.
“Di, lihat ini!” teriaknya kepadaku dengan menunjukan gambar di koran. Aku hanya mengangguk pelan.
“Cahyadi, mimpi itu indah ya. Kalau Tuhan selalu mengabulkan apa yang telah jadi mimpi kita, pasti keren.”
“Iya,” jawabku singkat dengan masa bodoh.
“Di, mimpi itu enggak boleh
digantung di langit, harapanlah yang seharusnya digantung. Mimpi itu
semestinya ada di dalam kotak dan setiap hari kita harus membuka kotak
itu untuk menyaksikan bahwa apa yang telah kita impikan hampir terkabul.
Percayalah!” ucap temanku.
Aku masih terdiam menyerapi perkataan sederhana temanku.
Sepulang sekolah, aku menyiapkan
kotak dari kardus mie yang tidak terpakai. Satu pikiranku ketika itu
adalah, aku seperti orang bodoh. Apa daya, kata-kata temanku itu seakan
telah menghipnotis. Sehingga aku membuat kotak dan memasukan mimpiku itu
ke dalamnya. Setiap hari aku selalu menengok mimpiku yang sejatinya
hanya sebuah kotak dengan kertas yang bertuliskan, “Cepat atau lambat,
aku bisa kuliah di Techonologi Compiegne of University, Perancis!”
***
“Lihatlah aku, kawan!”ucapku dalam
hati. “Kotak itu bisa membawaku ke tanah ini. Ke tanah para seniman
terlahir, di mana kisah Romeo dan Juliet bermula dan tanah dengan sejuta
akustik yang mengalun merdu dalam dering derang dunia. Tempat Gustave
Eiffel mulai berkarya dengan jiwanya. Sungguh aku tidak pernah bermimpi
untuk bermimpi.” Kembali ku berujar dalam hati dengan tangan yang
kubentangkan seperti layar pada perahu yang terkembang di pantai.
Entah kenapa aku selalu menikmati
malam ini. Di atas batu Ivy pinggiran sungai Seine. Techonologi
Compaigne of University adalah mimpiku. Dan almamater universitas yang
membuatku mati berdiri itu telah terpasang laksana lencana jendral yang
termaktub megah dalam genggaman.
Tiga semester telah aku jalani.
Ranah yang membawaku karena sekotak asa yang aku punya pada masa lalu.
Hingga saat ini, kotak itu masih ada dalam tempat yang tidak pernah
diketahui oleh siapapun.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !