Monolog, pada sebuah bioskop
~Adisaputra~
Seperti
mengukir sebuah episode terkelam. Aku sutradara yang payah, membiarkan engkau bermain sendiri tanpa script hingga adeganini pun nyeri terjadi.
sumber poto by : monstreza.wordpress.com |
Kaupungut gaunmu dan lari, pada gerimis yang turun di sudut lokasi shooting, pada gelap yang tiada menciptakan pelangi, pada dingin yang melapisi tiap perih
menjadi sunyi.
Aku
penulis naskah terburuk sepanjang pertemuan kita. Aku biarkan engkau bermonolog. Dan aku tuli, menyandingkan sepasang telinga dan
secangkir anggur untukmu berdialog, pada
gila yang disebut sepi. Lalu,
gelas-gelas itupun berai berdenting, bergelimang anggur, membasahi ujung
sepatumu, menetes
bagai darah-darah yang penat dalam pembuluhnya. Kau pun diam dan merobek naskahku menjadi tujuh, di angka delapan pertemuan kita. Ini baru purnama ketiga yang dipaksa
gerhana. Kaulari,
dan aku sepi.
Aku
produser terparah sepanjang sejarah,
mendiamkanmu sesunyi itu, pada
milyaran rupiah kata yang
kuhabiskan untuk menyusun sajak di wajahmu, pada tangis pagi yang menetes di kelopak chrysantemumsebelum
fajar sempat menyepuh namamu. Dan
tanda tangan kontrak kita punah. Tintanya
lari seiring laju kakimu yang jenjang, menembus
kubangan. “Kau
hanya sedang ingin bersunyi,” bunyiku pada jumpa pers paling menyebalkan di aula yang nyaris runtuh
ini. Halaman parkir penuh serapah: padaku, pada dinding angkuh yang rapuh.
Aku
penonton terburuk pula di bioskop ini. Kuputar
sendiri film yang tak pernah jadi itu, sembari menikmati pop corn yang basi, basi
karena kau tak ada di sini. Drama
ini tak berkelas, sungguh. Aku
menikmatinya seperti menenggak secangkir kecubung, nyaris gila aku dibuatnya.Pada aktingmu yang manja, dan peran pengganti itu tak pernah bisa
berlenggok sepertimu; tak bisa
tersenyum sepertimu, tak
pernah bisa.
Lalu, kubiarkan
bioskop ini sepi. Dramamu
kuputar tiga kali. Aku ke
toilet tiga kali. Aku pun
membelitissue danpop corn tiga
kali. Namun cukup sekali … aku membuat film seperti ini.
Pdg, 2011
Adisaputra, lahir di Jambi pada 2 Mei. Menyukai puisi dan
martabak jagung keju. Telah menerbitkan kumpuisi Senandung Subuh (2011) dan tergabung dalam beberapa antologi
bersama, seperti 120 Indonesia Poet:
Diverse, Diverse (2012), Sang Jejak
(2012), dan 123 Penyair LMP Hari Bumi:
Sajak Pohon Bakau (2012). Masih menjadi silent
reader di kelas Cendol.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
2012*
~Hengki Kumayandi~
Hujan kini berubah menjadi hujan batu
Batu-batu kecil berjatuhan dari langit
Membawa api
Padahal aku menginginkan basah
Namun yang kucecap hanya panas dan sakit
Sepuluh menit sudah kulalui di tengah semak
Berdiri menengadah
Sekali lagi kukatakan, aku ingin mandi hujan hari ini
Namun yang ada kepalaku berdarah
~Hengki Kumayandi~
Hujan kini berubah menjadi hujan batu
Batu-batu kecil berjatuhan dari langit
Membawa api
Padahal aku menginginkan basah
Namun yang kucecap hanya panas dan sakit
Sepuluh menit sudah kulalui di tengah semak
Berdiri menengadah
Sekali lagi kukatakan, aku ingin mandi hujan hari ini
Namun yang ada kepalaku berdarah
Tubuhku terluka
Di mana aku bisa mendapatkan hujan?
Kemana airnya yang kerap turun deras?
Mungkin ia tak akan ada lagi
Itu bisikan dari peramal di tahun 2012 ini
Yang ada kota-kota hancur
Gunung-gunung memuncratkan magma
Laut mengombak raksasa
Sang Biksu pun tak berdaya di puncak tertinggi bumi
Di mana aku bisa mendapatkan hujan?
Kemana airnya yang kerap turun deras?
Mungkin ia tak akan ada lagi
Itu bisikan dari peramal di tahun 2012 ini
Yang ada kota-kota hancur
Gunung-gunung memuncratkan magma
Laut mengombak raksasa
Sang Biksu pun tak berdaya di puncak tertinggi bumi
Lalu, haruskah
aku berlari ke kapal pengangkut layaknya perahu nabi Nuh?
Ah! Hujan itu kuyakin masih akan kutempuh pada datangnya mentari
Di atas kapal yang menggenang nanti
Sarawak Malaysia, 21 Maret 2013
Ah! Hujan itu kuyakin masih akan kutempuh pada datangnya mentari
Di atas kapal yang menggenang nanti
Sarawak Malaysia, 21 Maret 2013
*terinspirasi
dari film 2012
mantap :)
BalasHapus