Lelaki
Cinderella
Akarui
Cha
“Ilana?” suara Kak Teddy mampir ke pendengaranku, sekejap.
Gerimis hari ini, datang lagi bersama angin yang bertiup lemah. Menggoyang deretan pakaian yang dijemur ibuku pagi tadi. Angin dan butiran airnya yang menerpaku saat kuraih pakaian-pakaian yang tergantung pada dua utas bentangan tali di teras belakang, menimbulkan rasa rindu pada gerimis senja sepuluh tahun yang lalu.
Gerimis itu ... gerimis perpisahan
kami dengan pasir abu-abu nan dingin, pada jejeran perahu yang tertambat dekat
tepian ombak, gubuk-gubuk nelayan, juga aroma jagung bakar yang selalu semerbak
saat senja datang. Gerimis, dimana Ayah dan Kak Teddy menggandeng tanganku
sambil memandangi buih-buih di bibir pantai.
“Ilana?” panggil Ibu.
Aku terkejut. Tanganku sudah
ditumpuki pakaian kering, sementara mataku setia mengintip keluar melalui
celah-celah pagar besi yang hanya mampu mengirimkan angin sepoi. Aku pun
menoleh, berbalik masuk ke dalam rumah. Sempat kaki kananku mendorong pelan
pintu dapur agar tertutup.
Mata Ibu yang masih jernih,
menatapku syahdu. “Istirahatlah dulu!” Aku meningkahi ucapannya dengan senyum,
seolah berkata kalau semua pekerjaan rumah yang kulakukan ini begitu
menyenangkanku. Bukankah sewaktu kecil dulu, aku sangat ingin menjadi
Cinderella? Bahkan, aku sampai memperebutkan peran dalam film animasi milik
Disney itu dengan Kak Teddy. Wajah Kak Teddy kembali berkelebatan di benakku.
“Kakakmu belum pulang?”
“Sebentar lagi juga Kak Teddy
pulang, Bu.” Entah mengapa, ucapan itu terlontar olehku. “Hmm ... kalau Kak
Nicco, kita dengerin lewat radio aja, ya! Mulai bulan ini, kan, Kak Nicco
kebagian siaran sore, Bu.” jawabku dari ruang cuci. Setelah melipat semua
pakaian kering dan menumpuknya di dalam keranjang, aku berlalu ke ruang tengah
dan langsung menyalakan radio.
“Selamat sore menjelang malam Teman
Lesmana.” Sapa Kak Nicco pada pendengarnya. “Lagu pertama untuk Weekend Radio
Hits edisi kali ini, kuhadiahkan khusus untuk adikku tersayang di rumah, Ilana.
A Dream is A Wish Your Heart Makes, soundtrack dari Cinderella The Movie.”
Kak
Nicco, bukankah lagu itu juga sangat disukai Kak Teddy? Kenapa hanya aku yang
dia ingat? Apa kepergian Kak Teddy hampir seminggu ini, tak mampu menyelipkan
sedikitpun rindu di hatinya? Bencikah Kak Nicco pada kakak sulung kami itu?
Di luar sana, perlahan langit
berubah gelap. Matahari pukul enam sore mulai menghilang, mengucapkan ‘sampai
jumpa lagi’ pada daun-daun hijau tua milik pohon mangga yang basah di tepi
jalan, melambai pada butir-butir gerimis tadi, juga pada burung-burung gereja
yang terpaksa pulang lebih awal menuju sarangnya.
***
***
“Kak.” Aku masuk ke dalam kamar Kak
Nicco buru-buru. Aku belum sempat mengganti seragam sekolahku. Kudapati senyum
manis kakakku yang tampan itu terpantul di cermin. Dia masih sibuk menyisir
rambutnya ke atas, sembari mengoleskan jel. Dia berbalik, mengerling sebentar.
“Kakak bangun kesiangan lagi?”
tanyaku, memperhatikan seprai birunya yang masih kusut.
Ya, biasanya Kak Teddy yang selalu
membangunkannya. Batinku geli.
“Makan siang dulu, Kak, sebelum
berangkat ke studio.”
Dia kembali tersenyum simpul.
Matanya menerawang ke langit-langit kamar. “Sudah berapa lama, makan siang dan
makan malam kita nggak pernah lengkap seperti sebulan yang lalu?” matanya
berkaca sebentar. “Iya, nanti Kakak susul kamu ke meja makan, ya!”
“Kak …” rajukku. “Aku maunya Kakak
ke meja makan bareng aku.”
Dia menoleh ke jendela kamarnya. Di sana, jendelanya masih rapat dengan bingkai coklat tua, hanya gordennya saja yang tersibak.
Dia menoleh ke jendela kamarnya. Di sana, jendelanya masih rapat dengan bingkai coklat tua, hanya gordennya saja yang tersibak.
“Kakak rindu Ayah?” Aku menyandarkan
kepalaku di pundaknya. Merasakan aroma woody dari tubuhnya. “Aku juga.” Kakakku
ini, mirip sekali dengan Ayah, walaupun wajahnya mungkin lebih mirip Ibu. “Apa
Kakak nggak rindu Kak Teddy?”
“Teddy?” Kak Nicco menghela napas
cepat. “Lupakan! Ayo, kita makan!” pekiknya, lalu bangkit dan menggenggam
tanganku, membawaku untuk menemui Ibu yang menunggu kami di meja makan.
Ibu hanya duduk dengan kaku, menatap
ke pintu depan rumah kami yang tertutup rapat.
“Lebih baik dia nggak pulang. Dia memang bukan siapa-siapa yang wajib Ibu khawatirkan!” Gumam Kak Nicco.
“Lebih baik dia nggak pulang. Dia memang bukan siapa-siapa yang wajib Ibu khawatirkan!” Gumam Kak Nicco.
Rona sedih di mata Ibu semakin
memekat. Sejak Ayah tiada dua minggu yang lalu, Ibu sangat sedih, lalu berubah
semakin murung saat Kak Teddy memutuskan pergi dari rumah. Aku mengambilkan
sesendok nasi untuk Ibu, kemudian kubiarkan Kak Nicco mengambil bagiannya
sendiri. Aku hanya menyendokkan sayur lodeh untuk kakakku. Ah, Kak Teddy, bukankah ini juga sayur kesukaanmu?
Sejujurnya, aku tak mengerti, ada
perseteruan apa dengan kedua kakakku ini. Aku hanya paham, mereka berdua telah
membuat Ibu muram, apalagi Kak Teddy yang belum juga kembali ke rumah setelah
bertengkar hebat dengan Kak Nicco. Aku selalu ingin tahu, tapi Kak Nicco senang
sekali menyipitkan matanya tiap kali aku bertanya. Mungkin kekesalannya belum
surut sempurna.
“Teddy itu juga anak Ibu, Nicco.”
Suara parau Ibu menghentikan tanganku yang baru saja akan menyuapkan makanan ke
mulutku. Kutemukan airmata yang membuat sungai baru di wajah Ibu.
“Aku memang nggak punya hak di rumah
ini, setelah Ayah nggak ada.” Suara pilu Kak Teddy saat kucegah kepergiannya
malam itu, menghampiri pikiranku.
“Pergilah, kami nggak membutuhkanmu
lagi!” hardik Kak Nicco geram. “Hiduplah sesukamu! Lagipula nggak ada tempat
untuk anak yatim piatu sepertimu disini!” Kak Teddy pun memaksaku melepaskan
genggamanku, berbalik, lalu menjauh. Gerimis senja itu menemani kakinya yang
menjejak aspal, membawa pergi senyum Ibu.
“Dasar bodoh! Kamu terlalu banyak
berkhayal sampai hatimu jadi kebas pada kenyataan!” Kak Nicco terus menceracau
hingga bayangan Kak Teddy menghilang. “Aku benci, karena kamu lebih disayangi
oleh ayahku.”
***
***
Sudah enam malam berlalu, dan kali
ini, gerimis kembali mengetuk atap rumah kami. Aku menyembunyikan diriku di
dalam kamar, dengan ponsel yang sudah kugenggam dan kudekatkan pada telingaku.
“Ilana?” Sapa Kak Teddy di ujung
telpon.
“Aku kangen Kakak.” Keluhku.
Suara helaan napasnya terdengar
jelas. “Ilana, kamu ingat film animasi yang sering kita tonton berdua waktu
kamu kecil?”
“Cinderella and The Glass Shoes.”
“Kamu tahu, kenapa Kakak sering
bilang kalau kamu saja yang jadi ibu perinya? Biar Kakak yang jadi Cinderella.
Padahal kamu lebih suka, Kakak jadi pangeran yang menunggu kamu di pesta dansa?
Dan ... kamu lebih senang menyebut Nicco sebagai tikus pengawal?”
“Kak.” Panggilku rindu.
“Karena Kakak memang Cinderella,
Ilana. Kamu anak Ayah dan Ibu. Kakak, hanya anak Ayah, bukan anak Ibu. Kakak
punya Bunda di kota ini. Sekarang Kakak di Mataram, Dik. Kakak sedang berpesta
di istana Bunda, di dekat makamnya. Kamu masih ingat Pantai Tanjung Karang kan?
Dulu, kamu senang sekali diajak Ayah kemari.”
“Kakak ....”
“Kakak pernah meninggalkan sepatu
kaca Kakak, sebelah hati Kakak di sini. Tapi Bunda nggak pernah datang mencari
Kakak.”
Kerongkonganku tercekat. Aku tak
bisa memahami ucapan Kak Teddy.
“Maaf, kalau senja itu, Kakak tega
ninggalin kamu. Kakak tahu, kamu sedih.”
“Kakak kapan pulang?”
“Secepatnya. Kakak janji, sebelum
jam 12 malam, walaupun pesta di istana ini belum selesai, Kakak akan pulang.”
Cukup lama Kak Teddy terdiam. “Sampaikan maaf Kakak ke Ibu, ya!” Kak Teddy
memutus teleponku.
Tanpa kutahu, Ibu berdiri mematung
di depan pintu. Airmatanya menderas. “Apa Teddy yang tadi kamu ajak bicara,
Nak? Ibu juga rindu.”
Kuajak Ibu untuk duduk di sampingku.
“Iya.”
“Teddy juga anak Ibu, anak kandung
Ibu, kata siapa dia Cinderella. Dulu, bundanya tak bisa memiliki anak, jadi dia
meminta Teddy sebagai pancingan. Tapi sekian lama Tuhan tak jua memberi mereka
keturunan, lalu dia meminta Ibu menikah dengan Ayah. Kemudian, setelah bundanya
tiada, Ibu kembali mendapatkan Teddy. Setelah itu barulah ... kalian berdua
hadir melengkapi kehidupan Ibu dan Ayah.” Ibu menggenggam tanganku. “Katakan
semua padanya, Ilana, Ibu sangat rindu.”
Aku mendapati bayangan Kak Nicco
yang mematung di depan pintu kamarku.
“Teddy hanya nggak tahu, dan Nicco cuma salah paham.” isakan Ibu memenuhi tiap penjuru kosong di rumah kami.
“Teddy hanya nggak tahu, dan Nicco cuma salah paham.” isakan Ibu memenuhi tiap penjuru kosong di rumah kami.
*****
good
BalasHapus