Judul : Gadis Kretek
Penulis : Ratih Kumala
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : Cetakan Pertama, Maret 2012
Tebal : 275 halaman
Harga : Rp 58.000,-
Kretek, sebuah kata yang tak asing lagi bagi telinga masyarakat Indonesia. Kretek bukan rokok, bukan pula cerutu karena dalam kretek ada campuran cengkeh yang hanya dimiliki Indonesia. Kretek Indonesia yang sudah ada sebelum kemerdekaan Indonesia menjadi suatu warisan abadi bagi bangsa ini.
Ratih Kumala pun memaparkan tentang warisan nenek moyang Indonesia ini dalam sebuah buku yang sarat akan pengetahuan dalam novel Gadis Kretek. Penulis mulai bercerita tentang seorang pengusaha rokok kretek Soeraja yang di tengah sakitnya mengigau dan menyebut-nyebut nama “Jeng Yah”.
Ketiga anak Soeraja, Tegar, Karim, dan Lebas pun bertanya-tanya, siapa sebenarnya Jeng Yah. Mereka berpikir jika sosok Jeng Yah sangatlah berarti bagi romonya hingga romonya selalu menyebut namanya saat sekarat.
Rasa keingintahuan yang mendalam membuat ketiga calon pewaris kerajaan rokok kretek Djagad Raja itu menelusuri jejak-jejak Jeng Yah. Awalnya mereka tak tahu harus memulai dari mana, hingga akhirnya romo mereka menyebutkan Kota Kudus, tempat terakhir kali ia bertemu dengan Jeng Yah. Pencarian mereka pun sampai di kota M, tempat asal kakek mereka, sekaligus asal dari Jeng Yah, sang Gadis Kretek.
Tanpa mereka sadari, pencarian Jeng Yah ternyata bukan hanya pencarian sosok perempuan di masa lalu romo mereka, namun mereka juga menemukan rahasia besar yang telah lama dipendam romo tentang asal-usul kretek Djagad Raja hingga menjadi kretek no 1 di Indonesia.
Dalam novel yang terbagi dalam 15 bab ini pembaca akan disuguhi sejarah kretek yang penyebutannya berasal dari bunyi kretek-kretek saat cengkeh di bakar untuk dimasukkan ke paru-paru sebagai obat asma (halaman 63), juga tentang perkembangan kretek Indonesia yang diawali hanya dari lintingan klobot jagung hingga menggunakan papier, kertas khusus rokok.
Novel ini pun tampil berbeda dengan menampilkan berbagai sketsa etiket bungkus kretek yang ada dalam cerita, membuat pembaca tak terlalu meraba-raba seperti apa bentuk bungkus kretek yang sedang dikisahkan. Novel ini juga terasa lebih mengena dengan penggunaan beberapa istilah dalam dunia kretek seperti ngeses (merokok) dan tingwe (linting dewe-melinting rokok sendiri).
Ratih Kumala dalam buku ini menunjukkan kepiawaiannya menuliskan novel dengan aroma penuh sejarah. “Hari itu adalah hari yang bersejarah bagi Soeraja. Pemuda itu membuat Kretek Arit Merah untuk pertama kalinya. Hatinya begitu gembira ketika usaha lobinya pada PKI berhasil” (halaman 221).
Penceritaan yang mengambil setting waktu saat perang kemerdekaan melawan penjajah, zaman Komunis menduduki Indonesia hingga saat usaha kretek maju saat ini, membuat pembaca mengetahui jika politik pun membawa pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan kretek di Indonesia.
Novel ini pun memberikan banyak pembelajaran, tentang pencarian jati diri, juga kejujuran dalam membangun usaha. Sangat sayang apabila melewatkan novel ini karena di dalamnya tak hanya kaya akan sejarah, namun juga memberikan semangat dalam setiap lembar kisahnya. (*Richa Miskiyya)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !