Baiklah!
*Nattalia Desimoro
*Nattalia Desimoro
Baiklah! Aku memang hobi merutuk ketika ratusan makhluk itu menyerbuku tanpa ampun. Bagaimana tidak? Pekerjaanku terhenti gara-gara mereka. Belum lagi jika kecolongan, kaki atau tangan dijamin merah-merah, berbintik dan gatal. Ah, dasar nyamuk!
Seperti itulah kami dulu. Sebelum aku tiba di kota yang menyajikan kebaikan dan keburukan ini yang tampil sebagai mahasiswi bermahkota putih. Petani karet! Mau tidak mau aku menjalaninya. Karena, untuk berleha-leha saat liburan panjang pun, tidak memungkinkan.
***
Memasuki tahun ke dua, waktuku kian tersita. Menjadi perawat tak kenal waktu. Jika perawat libur, apa kabar pasien? Belum lagi tugas yang mungkin membunuhku secara perlahan. jika lupa makan, asam lambung menanti dan bersiaplah.
Sedang, menyadap karet hanya butuh setengah hari. Walau nyamuk yang banyaknya persis fans SUJU. Selain itu, musim hujan merupakan musuh terbesar. Sadapan karet pasti percuma karenanya.
***
Minggu siang, sebuah telepon dari seberang menghentikan keasyikanku menonton FTV. Bapak. Seperti biasa, kami saling bertanya kabar. Lalu beralih pada cuaca yang memaksa mereka berdiam di rumah atau melakukan pekerjaan di ladang. Kehilangan penghasilan sehari adalah masalah. Sebab kuliah kesehatan butuh biaya yang tidak sedikit. Aku hanya bisa berdiam. Merenung, aku tahu terima saja selama ini. Bahkan tergolong boros hingga SPP nunggak.
Namun, Bapak bilang itu biasa. Asal aku sekolah yang benar. Maka diceritakannya tentang beras dengan harga melambung. Aku mengeryitkan kening. Belum sempat kubertanya, ceritanya mengalir lagi. Atas nama kelestarian hutan, mereka mendengarkan anjuran saudara kami yang sudah bertitel. Mereka tidak berladang lagi. Bekas ladang ditanami karet. Agar tetap ada pohon. Aku menghembuskan napas lega. Sebuah langkah kecil untuk mengembalikan paru-paru dunia sudah dimulai.
Akan tetapi, aku keliru. Cerita beliau tidak sampai di situ. Ada 25% orang yang senang uang cepat. Selain alasan anak yang akan melanjutkan sekolah butuh uang segera. Padahal ada Credit Union yang selama ini sangat membantu para petani karet. Lahan bekas ladang bukan ditanami karet. Mereka menyerahkannya pada Bos Sawit.
Baiklah! Aku memang tidak suka gedoran pintu jam empat pagi dari Ibu. Juga berjalan kaki tiga kilo meter menuju kebun. Aku sekolah juga karena tidak berniat jadi penerus orang tuaku. Walaupun bekerja cukup setengah hari, hasil bisa melebihi gaji pegawai negeri. Aku hanya ingin dipandang sebagai orang terdidik dan tidak akan dibodohi. Tergerak oleh bencana di sana-sini. Juga kiri kanan jalan yang mulai gersang oleh tumbuhan yang tersusun rapi yang memonopoli.
Baiklah! Sangat benar aku tidak mau menjadi petani karet (lagi)! Akan tetapi tidak berarti aku mau karet-karet kehilangan sejarah karena dijarah penjahat berkerah.
Di ujung telepon sudah sunyi. Sebelumnya Bapak bilang ada banjir lagi. Jika air surut maka becek sudah pasti.
Baiklah! Hutan belum terbabat saja sudah seperti itu. Kebun karet tidak menutup diri akan tumbuhnya tumbuhan lain. Kebun karet memberi rumah bagi segala jenis binatang.
Sakit kepala tiba-tiba menyerangku. Mencegahku membayangkan jika pulang nanti, pohon besar untuk berteduh tinggal cerita. Kemungkinan buruk segera menjadi berita.
Baiklah! Aku memang bisa merutuk saja. Oke, mau bagaimana lagi?
kompleks!^^
BalasHapusMantep. Unik. :)
BalasHapusBaiklah! Aku cuma mau berkomen itu. :-D