Minggu
pagi (29/04) pukul 09:00, suasana Warung
Djogja di kompleks area wisata “Purawisata”, Jalan Brigjen Katamso terlihat
sangat ramai. Delapan puluhan cendolers dari berbagai wilayah berkumpul di
agenda Bincang Budaya yang diampu oleh Secoteng-Sedhuluran Cendol Jogja dan Jawa Tengah. Acara yang dimoderatori Raja Cerpen Indonesia-Donatus A
Nugroho, dan dua Narasumber keren yaitu Ahmad Tohari-penulis novel Ronggeng
Dukuh Paruk yang fenomenal juga Nestor Rico Tambunan-penulis senior dan juga
seorang dosen, menjadi magnet bagi segenap cendolers untuk hadir di agenda ini.
Bincang Budaya bertajuk “Belajar
dari Ronggeng Dukuh Paruk” dimulai dengan pemaparan latar belakang dan proses
kreatif lahirnya novel fenomenal ini. Menurut Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh
Paruk lahir akibat proses hamil sastra selama 15 tahun. Situasi perpolitikan tahun
1965 yang sangat tidak kondusif, saat dirinya masih SMA, membuatnya tergerak
untuk menuliskan apa yang menjadi kegelisahannya.
Menurut novelis kelahiran Banyumas, 13
Juni 1948 ini, para wartawan, dan sastrawan negeri ini, akan mempunyai hutang pada negeri ini, jika tak ada yang berani menuliskan tragedi
perpolitikan yang terjadi di negeri ini. Ronggeng Dukuh Paruk adalah bentuk
protes rasa ketidak percayaannya terhadap bangsa ini lagi.
“Saat buku ini lahir (RDP, red),
sayapun pernah mendapat gugatan dari kalangan masjid. Mereka menyayangkan saya
yang notabene anak kyai kampung kenapa menulis tentang ronggeng. Saya
jawab, kita ini dilahirkan untuk membaca alam semesta. Lahuu maa fissamawati wa maa fil ardhi. Dan ronggeng itu termasuk
lahu maa fil ardhi, jadi wajib
dibaca. Sastro kang gumelar ini baik dan buruk harus dibaca, hanya saja harus
dengan kondisi membaca atas nama Tuhan (iqro
bismi robbik). Kalau pembacaan kita lepas dari kondisi ini, tentu saja akan
menjadi liar. Kalau pembacaannya dengan atas nama Tuhan, kita jadi menggunakan
akal untuk memikirkan penciptaan.” Lanjut penulis yang sempat mengikuti International Writing Programme tahun
1990 di Iowa City, Amerika Serikat.
Sedangkan Nestor Rico Tambunan yang
menjadi pembicara pada sesi kedua lebih menyoroti local wisdom-budaya lokal dalam sastra. Menurutnya, dalam realitas
yang sesunggguhnya budaya lokal adalah karya sastra yang sering mempesona
karena dianggap mengandung sesuatu yang baru, unik dan mengejutkan.
“Karya
sastra yang baik akan mengajak pembaca melihat karya tersebut sebagai cermin
dirinya sendiri, serta mampu memperkuat dan menajamkan sense of humanity. Kita dapat belajar dari trilogi Ronggeng Dukuh
Paruk yang mengandung budaya lokal dengan segala dinamika sosial-politik yang
menggugat rasa kemanusiaan.” Terang Penulis senior dan juga seorang dosen ini.
“Saya senang terhadap
antusiasme peserta bincang budaya ini. Semoga kegiatan ini dapat memotivasi cendolers untuk lebih keren lagi dalam berkarya,” ujar mayokO
aikO-Pemilik Yayasan Cendol-Universal Nikko.
Ahmad Tohari |
Dalam closing
statementnya, Ahmad Tohari memesankan kepada para penulis muda untuk mengasah
kepekaan sosial, alam dan kosmik agar apa yang ditulis menjadi berjiwa. Penulis
juga harus menghargai proses, dan tentu saja harus banyak membaca dan
menghadirkan Tuhan saat membaca. Karena membaca dengan dan atas nama Tuhan,
maka kita akan sangat diperkaya. Sehingga kemudian hamil dan akhirnya
melahirkan tulisan-tulisan yang bermakna.
Monolog RDP by Aixa Paramita |
Bincang Budaya ini juga dimeriahkan dengan performance monolog Ronggeng Dukuh Paruk
oleh Mita-Cendolers asal Jawa Timur yang membuat decak kagum para peserta
bincang budaya, tak terkecuali sang penulis novel RDP yang sempat meluruhkan
air mata melihat monolog tersebut. (*TL)
Peserta Bincang Budaya 'Belajar dari Ronggeng Dukuh Paruk' |
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !