Lingkar Cinta Mayra
~Moon Terra~
Cinta itu sabar dan baik, bukan pula
sesuatu yang kasar
Cinta tidak dendam. Ia selalu memberi
kesempatan kedua
Cinta selalu penuh harapan, abadi,
sepenuh hati
Dan sangat mengagumkan.
_Anonim_
Mayra tak mengerti tentang Mama. Jika mood Mama sedang kacau,
Mama membanting apa saja yang di depan mata. Sesekali Mama membanting Mayra.
Jin sedang mengendalikan Mama, dengus Mayra menyeka peluh tubuh berdarahnya.
Mama membiluri tubuh kecilnya sekali lagi. Ini salah Jin, bukan salah Mama,
tegasnya dalam hati. Mayra tidak tahu apa yang membuat Mama menjadi sangat
temperamen. Selalu ia memikirkan itu.
Saat sedang berpetualang dalam
angannya dengan Matilda, buku kesayangannya ada di pangkuan. Sumber fantasi tak
menjemukan. Mayra merasa dirinya adalah Matilda. Gadis kecil yang mencintai
pengetahuan. Dia adalah Matilda. Tapi Matilda yang tanpa Ayah serta Kakak Adik.
Hanya itu yang menghantam kekosongannya.
“Mama, Papa di mana?” tanya Mayra.
Mama bungkam, terkadang menggeram kesal.
“Kenapa Mayra nggak punya Kakak, Ma?”
tanya Mayra di lain waktu.
“Mama, Mayra pengen punya Adik. Bosan
jika harus main dan bicara sama Wolly!” ditendangnya boneka beruang salju itu
ke sudut.
Mama meradang. Setrika yang dipegang
melayang. Lalu sebuah tamparan dan percikan ludah dengan frasa paling kasar.
Semuanya terkumpul dalam genangan sunyi. Detik-detik lamban menghilang.
Itu masa kecil Mayra bersama Mama.
***
Bumi digelung udara paling gerah. Musim
panas mendengungkan bariton hewan-hewan lebih ekstrim dari musim biasanya. Pagi
hari dengan kicau prenjak. Siang hari dengan lolong gagak. Di malam hari dengan
puluhan jangkrik di puncak. Koloni itu punya empayar di puncak kapuk belakang
rumah. Itu tak lepas dari jala pandangan Mayra sehari-hari. Seperti sore itu,
ketika Mayra melakukan investigasi ke pohon kapuk. Diperhatikannya koloni hitam
itu. Inilah makhluk kecil dengan suara yang amazing.
Mayra menuliskan sesuatu di notebooknya. Mereview lebih lanjut lalu
mengangguk puas. Tugas biologinya telah selesai. Tinggal set ulang gaya bahasa
agar lebih enak bila dibaca nanti. Besok ia ingin senyum Dheyan kembali mengupdate hati mudanya. Menjadi
murid pintar memang enak. Mayra tertidur pulas. Di belakang rumah, riuh
jangkrik mengelambu mimpi. Hujan langsung bernyanyi.
***
Braakk!!
“Mana sarapanku!” Mama membanting kursi.
“Maaf Ma, kulkas kosong. Mayra lupa
bilang ke Mama,” desahnya pasrah. Dan sebuah lemparan meluruhkan Mayra ke
lantai. Ia pingsan.
Mayra membuka mata. Seseorang telah
membalut perban di kepalanya. Ia tidak tahu entah berapa lama tidak sadarkan
diri. Di sampingnya ada Om Adib. Tetangga baru Mayra yang penuh welas asih.
“Om Adib, Mama ...” Mayra memelas.
“Anak manis, kamu aman sekarang,” katanya
lembut. “Tak seorang pun yang akan menyakitimu lagi.”
“Mama di mana?”
“Di rumah sakit jiwa.” Jawab Om Adib
pelan.
Mayra tercenung. Sesuatu melontarkannya
pada pedih. Jin yang membuat Mama begitu, jeritnya.
***
Hari-hari diisi Mayra dengan berbagai
aktifitas. Bersama Om Adib, diving
ke pulau Bintan atau keliling melayari selat-selat kecil di
kepulauan Riau hingga ke laut dangkal Bengkalis. Menikmati festival jung di pantai
selat baru. Jung, miniatur kapal kecil dengan layar-layar cerah. Bersama
Moneteera, kapal layar kesayangan mereka, Om Adib membuatnya menggilai laut.
Sore di tepian pantai, mereka menerbangkan layang-layang dibantu angin dari
utara yang berhembus. Senja mereka habiskan untuk duduk memperhatikan kerlipan
kunang-kunang di seputar pepohonan pinggir pantai.
Jika Mademoiselle Aletta mengunjungi
mereka akhir bulan, Mayra senang seharian di dapur dengan variasi adonan yang
mereka ciptakan. Baguette yang sekeras pentungan namun cukup digemari, tiramisu
dengan lelehan krim hangat atau croissant keju yang krenyes di lidah. Mayra
menyukai wanita Prancis itu. Dapur selalu penuh cinta di antara tawa yang
ceria. Mayra sayang padanya. Aletta tipe wanita mutakhir dengan segudang
kemahiran. Namun hatinya rahim. Mayra berharap Aletta adalah pelabuhan terakhir
cinta Om Adib.
“Je M’appelle Aletta,” senyumnya saat pertama kali
memperkenalkan diri.
***
Aletta menatap Mayra di depannya. Mereka
duduk di teras belakang. Diskusi untuk sebuah solusi.
“Bella dan Atisha menghina Mama di depan
teman-teman sekelasku tadi,” Mayra mengadu.
“So?” tanggap Aletta.
“Kami perang mulut. Ujungnya berantem
betulan,” Mayra meringis memandang memar di lengannya.
“Well, hanya karena seseorang mengatakan sesuatu yang buruk, bukan
berarti kamu harus membalas dengan hal yang sama,” kata Aletta menepuk bahu
Mayra. ”Mayra, jangan biarkan perasaan menang pada diri mereka. Cuekin saja.
Mereka berdua adalah para pecundang yang pantas kamu kasihi.”
Mayra merasa malu. Aletta benar. Bella
dan Atisha sesungguhnya iri pada pencapaian akademis Mayra. Apalagi semenjak
kasus penganiayaan oleh Mama kepada dirinya, Dheyan, ketua kelas mereka
menunjukkan kepedulian lebih besar dari sebelumnya. Bella naik darah. Cemburu
tersebab cinta semu.
***
“Mayra kangen Mama. Bawa Mayra ke tempat
Mama, Om!” desak Mayra. Om Adib menggeleng lemah.
“Dia Mamaku, Om. Sesadis apa pun
perlakuannya, aku tetap menyayanginya, karena aku ini anaknya!!” jerit Mayra.
Tekstur wajah Om Adib mengeras. Entah apa
yang dikendalikannya agar tak terbuncah keluar dari ujung lidah. Pandangan
mendesak dari Mayra dilawannya dengan helaan nafas. Bangkit berdiri dan menutup
pintu kamar rapat-rapat. Mayra terpaku. Tak tahu mengapa Om Adib begitu.
Mayra bergegas meraih ponsel. Ia ingin
mengadu hal ini pada Aletta. Hanya perempuan itu yang bisa membujuk Om Adib.
Dalam deringan kedua, Aletta menyambutnya. Spontan, Mayra mengadu tentang
keinginan yang kini jadi permasalahan antara dia dan Om Adib.
“Kapan pulang?” Mayra bertanya.
“Tidak lama lagi, Mayra. Mungkin rabu
depan ke sana. Sekarang masih kucermati jadwal kegiatan terakhirku.”
“Kami tunggu.”
***
Lingkar cerah tempias di wajah Mayra.
Minggu adalah hari untuk melabuhkan rindu pada semestinya waktu. Kencan ini
mesti menjadi kenangan tak terlupakan. Bersama Dheyan menikmati setiap momen
yang berjalan. Mereka menyusuri pasar jajanan, wisata kuliner memang pilihan
yang mengesankan.
“Selamat ya, menjadi selebritis termanis
di kelas,” Dheyan nyengir.
“Untuk apa?”
“Olimpiade sains internasional. Barusan
dapat info dari blog, kamu akan terbang ke negara Merlion. ” Dheyan menyesap
cappucino cincaunya.
Senyum Mayra melebar. Kegairahan
merambah. Singapura, say
welcome to me, hati kecil Mayra berbinar.
***
“Aku ingin melihat Mama, please ...” rayu Mayra. Kali
ini dengan mata basah.
Om Adib kalah. Mengangguk pasrah. Lambat
laun semua narasi lama akan bersabda. Di sudut, Aletta mengangguk mantap.
memberi support tanpa akhir. Merci
Aletta, ia berterima kasih pada wanita itu.
***
Rumah sakit jiwa bukanlah tempat para
pendosa. Tapi tetap saja menjadi penjara bagi manusia yang kehilangan logika.
Mereka adalah sebagian komunitas yang diisolirkan. Hidup dengan tingkah pola
yang aneh melucukan dan terkadang hiperaktif. Mama bagian dari komunitas itu.
Dear Mama, aku mengasihimu sepanjang hidupku, tangis hati Mayra.
Mama menangis sesenggukan dan menekuk diri di sudut ketika mereka datang. Miris
hati Mayra melihatnya.
“Mama, Mayra kangen,” ia mengusap lembut
punggung Mama.
Mama semakin membenamkan diri. Mayra
memeluk belakang tubuhnya. Mama mengerang seperti terluka. Tak berdaya melawan
arus cinta Mayra yang begitu tulus. Sentimen keibuannya muncul seketika,
kemudian kenangannya saat menjadi nazi bagi sang putri. Apa salah anak ini? pertanyaan
yang selalu terulang di ending penyiksaan. Dan pertanyaan tak mendapat
kebenaran. Sebenarnya ia pun tahu hanya objek dari kekesalan semata.
“Pulanglah,” kata Mama.
“Mayra ingin bersama Mama lagi.”
“Setelah apa yang Mama lakukan padamu?”
“Mayra tak ingin jadi anak durhaka,
mendendam pada Mama.”
Mama tertawa getir. Kata-kata Mayra
menjadi balasan atas segala darah dan bilur-bilur yang digoreskan.
“Mayra selalu berdoa untuk kesembuhan
Mama” ucap Mayra tulus.
Mama mengangguk lirih.
“Pergilah, Papa sudah menunggu.” Mama
melempar pandang ke pintu.
Mayra tersentak. ia mengikuti arah
pandang Mama. Tak ada siapa-siapa di pintu kecuali Om Adib yang bersandar.
Subhanallah, pekik Mayra dalam hati.
****
Aletta, sang Mama baru erat merengkuhnya.
Bandara ramai siang ini. Ia sibuk menjelaskan adab yang mesti dipatuhi selama
di Singapura. Mayra hanya merespon dengan anggukan dan gelengan. Pikirannya
melanglang ke Mama. Papa sedang bicara dengan Dheyan. Ia dan Mayra terlibat
dalam grup yang sama.
Narasi lama telah diperjelaskan. Tentang
kehidupan Mama yang bahagia mencintai Papa, proses kehamilan berkali-kali yang
ujungnya keguguran, kemudian kelahiran Mayra yang membawa berkah,
pascapertengkaran rumah tangga, Papa yang meninggalkan Mama. Tapi sekarang
lembaran baru. Dengan kisah tak lagi sendu. Tinggal menunggu Mama keluar dalam
hitungan waktu. Mereka akan bersatu kembali. Mayra memandang Dheyan dengan
senyum. Ia menggumam, let’s fly
to Singapore ...
****
Moon Terra lahir dan berdomisili di Bengkalis.
Hobi menulis di
dunia cyber dan bergabung dalam beberapa komunitas menulis di dunia maya.
Beberapa cerpen dan puisinya terbit di koran dan tergabung dalam beberapa
antologi.
Kontak penulis di www.ainura_aini@yahoo.com dan Fb Moon Terra.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !