Judul : Ayahmu Bulan, Engkau Matahari
Penulis : Lily Yulianti Farid
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, Juli 2012
Halaman : 255 halaman
Harga : Rp 50.000
ISBN : 978-979-22-8708-0
Penulis : Lily Yulianti Farid
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, Juli 2012
Halaman : 255 halaman
Harga : Rp 50.000
ISBN : 978-979-22-8708-0
Ayahmu Bulan, Engkau Matahari merupakan kumpulan 17 cerpen yang ditulis oleh
Lily Yulianti Farid. Dalam buku kumpulan cerpen ini Lily memotret berbagai
wilayah konflik dari kacamata perempuan, ini bisa dilihat dari hampir semua
tokoh utama dalam cerita adalah perempuan dari beragam budaya, ras, usia, dan
agama.
“Ayahmu Bulan, Engkau Matahari” adalah cerpen pertama dalam buku ini yang berkisah tentang seorang perempuan bernama Jannah yang lahir saat sebuah pemberontakan meletus di kampungnya. Ayahnya meninggal saat pemberontakan itu, tepat ketika ia lahir di dunia. Ketika dewasa, Jannah pun mengabdikan dirinya menjadi seorang relawan Palang Merah Internasional untuk membantu para pengungsi dari Afrika, Eropa Timur, hingga ke Asia Selatan. (halaman 1-14)
Di cerpen “Maiasaura” bercerita tentang seorang relawan kesehatan di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Judul ‘Maiasaura’ diambil dari nama dinosaurus pertama yang ditemukan bersama anak-anak, telur, dan sarangnya yang terawat rapi. (halaman 82). Dengan cerdas Lily Yulianti menggabungkan kisah dinosaurus yang merawat dan mengasuh anaknya dengan kisah perjalanan tokoh utama di Tepi Barat dan Jalur Gaza ketika ia melihat penderitaan ibu hamil saat melewati pos pemeriksaan Israel (halaman 85)
Cerpen “Maiasaura” ingin meneriakkan betapa menderitanya perempuan dalam peperangan, “Sebelumnya kami sempat tersenyum mendengar kabar, ada bayi yang lahir selamat di pos Qalandiah sore tadi dan kini telah ditangani di ruang gawat darurat. Tapi semenit kemudian, drama kemanusiaan ini beralih begitu cepat : seorang ibu lainnya mati bersama bayinya.” (halaman 81).Perjuangan perempuan di era reformasi pun diceritakan Lily dengan apik dalam “Danau”, kisah tentang seorang adik yang merindukan kakak perempuannya yang hilang dan tak pernah kembali setelah berjuang menegakkan demokrasi.
“Delapan tahun sudah orang-orang ini terperangkap dalam terowongan misterius yang begitu panjang dan tak menunjukkan tanda cahaya di ujungnya.” (halaman 216).
Cerpen ini pun menyentil keamanan kondisi politis negeri ini. Ini terlihat dalam kalimat berikut, “Kakak yang seharusnya lebih hati-hati di negeri sendiri.” (halaman 218).
Dalam buku setebal 255 ini, Lily Yulianti Farid ingin menunjukkan bahwa masih banyak ketidakadilan yang dialami perempuan, baik itu dari ruang dapur sampai wilayah konflik. (*Richa Miskiyya)
“Ayahmu Bulan, Engkau Matahari” adalah cerpen pertama dalam buku ini yang berkisah tentang seorang perempuan bernama Jannah yang lahir saat sebuah pemberontakan meletus di kampungnya. Ayahnya meninggal saat pemberontakan itu, tepat ketika ia lahir di dunia. Ketika dewasa, Jannah pun mengabdikan dirinya menjadi seorang relawan Palang Merah Internasional untuk membantu para pengungsi dari Afrika, Eropa Timur, hingga ke Asia Selatan. (halaman 1-14)
Di cerpen “Maiasaura” bercerita tentang seorang relawan kesehatan di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Judul ‘Maiasaura’ diambil dari nama dinosaurus pertama yang ditemukan bersama anak-anak, telur, dan sarangnya yang terawat rapi. (halaman 82). Dengan cerdas Lily Yulianti menggabungkan kisah dinosaurus yang merawat dan mengasuh anaknya dengan kisah perjalanan tokoh utama di Tepi Barat dan Jalur Gaza ketika ia melihat penderitaan ibu hamil saat melewati pos pemeriksaan Israel (halaman 85)
Cerpen “Maiasaura” ingin meneriakkan betapa menderitanya perempuan dalam peperangan, “Sebelumnya kami sempat tersenyum mendengar kabar, ada bayi yang lahir selamat di pos Qalandiah sore tadi dan kini telah ditangani di ruang gawat darurat. Tapi semenit kemudian, drama kemanusiaan ini beralih begitu cepat : seorang ibu lainnya mati bersama bayinya.” (halaman 81).Perjuangan perempuan di era reformasi pun diceritakan Lily dengan apik dalam “Danau”, kisah tentang seorang adik yang merindukan kakak perempuannya yang hilang dan tak pernah kembali setelah berjuang menegakkan demokrasi.
“Delapan tahun sudah orang-orang ini terperangkap dalam terowongan misterius yang begitu panjang dan tak menunjukkan tanda cahaya di ujungnya.” (halaman 216).
Cerpen ini pun menyentil keamanan kondisi politis negeri ini. Ini terlihat dalam kalimat berikut, “Kakak yang seharusnya lebih hati-hati di negeri sendiri.” (halaman 218).
Dalam buku setebal 255 ini, Lily Yulianti Farid ingin menunjukkan bahwa masih banyak ketidakadilan yang dialami perempuan, baik itu dari ruang dapur sampai wilayah konflik. (*Richa Miskiyya)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !