Kalung dari Tandikek
~Adisaputra~
Fajar
di bukit Tandikek. Semburat cahaya mengintip dari cakrawala, sinarnya belum
lagi menyentuh pucuk kelapa yang tumbuh di Kampung Cumanak, tepat di sebuah
lembah di kaki bukit Tandikek. Lampu-lampu masih tampak menyala di beberapa
rumah, juga di surau-surau yang masih melantunkan ayat-ayat suci. Hari ini hari
minggu, biasanya anak-anak banyak mengikuti didikan subuh di surau selepas
subuh hingga waktu duha menjelang.
Sementara
itu, cahaya jingga telah menyapu sebagian pundak bukit yang melandai di sebelah
utara. Sebentar matahari akan menyongsong, menguasai hari. Burung-burung
beterbangan di antara beberapa rumah yang ditanam di pundak bukit, beberapa
meter di atas kampung Cumanak, memanfaatkan sebidang tanah yang menjorok ke
luar sebagai tempat bermukim. Awalnya hanya dangau-dangau kecil tempat
beristirahat setelah mengolah tanah lereng Tandikek. Namun kini telah berubah
menjadi sebuah pemukiman kecil bernama Kampung Tandikek.
Di
sebuah rumah, suasana di ruang tamu kala itu telah lebih dulu memanas. Sudah
kali ke sekian Datuk Ramli berdebat dengan Farhan, anak sulungnya. Sejak Farhan
pulang kampung dan berhasil meraih gelar Sarjana Teknik Lingkungan, mereka lebih
kerap terlibat adu mulut.
“Ayah heran dengan waang, Han. Sejak Ayah menebang pohon di bukit itu, waang sudah cerewet sekali. Coba waang pikir, kalau tidak begitu, mau
makan apa kita. Dari hutan Tandikek itulah Ayah dapat uang untuk makan kalian,”
Datuk Ramli sebentar mengisap kreteknya, “tengok sawah kita, harga padi kian
turun sedang pupuknya makin sulit dan harganya selangit. Bertanam sayuran pun
harganya habis dipermainkan tengkulak. Itulah mengapa Ayah dulu memutuskan ikut
sambilan membuka hutan di bukit.”
“Tapi,
Yah, tanamilah pohon-pohon kayu di bukit itu. Apalah kuatnya akar kayu manis.
Tak mampu dia mencengkeram tanah,” Farhan masih bersikeras dengan pendapatnya.
“Dari
dulu, itu saja yang waang bicarakan.
Sekarang, sudah bagus Ayah dan teman-teman menanaminya dengan kayu manis, tak
kami biarkan bukit itu kosong.” Datuk Ramli pun tak kalah kerasnya.
Farhan
sudah habis pikir untuk meyakinkan lelaki sebaya di hadapannya itu.
“Dulu
Ayah pikir, waang Ayah kuliahkan
supaya pintar, supaya nanti bisa membanggakan orang tua. Nyatanya, waang malah sok pintar. Sudah pandai
pula menggurui Ayah,” lanjut Datuk Ramli.
“Tak
tahulah, Yah. Farhan tak ada maksud sedikit pun menggurui Ayah. Ayah guru ngaji
Farhan sejak kecil. Ayah lebih tahu dari Farhan,” Farhan diam sebentar, “tapi
supaya Ayah tahu, itulah yang Farhan dapat dari bangku kuliah. Farhan juga
sudah sering jadi relawan lingkungan, Yah.”
“Han,
lereng bukit ini sudah ditinggali nenek moyang waang dari dulu. Mereka juga menebang pohon seperti yang Ayah
lakukan. Lihat, kita baik-baik saja sampai sekarang. Sampai waang datang dengan kapalo nan kareh itu. Waang tahu
kan Ayah kepala kampung di sini, jadi Ayah hanya berusaha mempertahankan
kerukunan warga kita. Jangan sampai gara-gara masalah sepele ini justru membuat
mereka tak lagi percaya dengan Ayah …,”
“Justru
karena Ayah memiliki posisi ini Farhan memohon pada Ayah.”
“Nah,
sudah pandai pula memotong kata-kata Ayah waang,
Han. Ini yang kaudapat dari kuliah?”
“Bukan
itu, Yah …,”
“Terserah.
Sudah merasa hebat pula waangsekarang.
Jadi apa mau waang?” Suara Datuk
Ramlitak lagi ditahan-tahan. Tampak guratan otot rahangnya yang
sebentar-sebentar menegang saat menggigit ujung kretek, tanda ia sudah sangat
kesal.
“Baiklah,
Yah. Farhan tak hendak menyulitkan Ayah lagi. Farhan akan pergi dari rumah
ini.”
“Nah,
sudah pandai waang mengatakan itu
sekarang. Lebih baik waang seperti
adik waang yang bisu itu, tak pandai
dia membangkang macam waang!”
Bagaikan
petir di siang bolong. Amak dan Yeni yang tengah menonton televisi tak jauh
dari tempat bapak dan anak itu duduk, terkejut bukan main. Amak pun beringsut
ke ruang tamu dan duduk di antara Farhan dan ayahnya. Sementara Yenni
mengalihkan perhatiannya, memandang abangnya yang tertunduk di tempat duduknya.
“Tak
bisakah kalian bicara baik-baik,” Amak memandang wajah anak sulungnya yang
tertunduk,“Farhan, jangan begitu, Nak. Jangan termakan emosi.”
Farhan
mengangkat wajahnya. Agak tercekat kala mendapati wajah adiknya berlinangan air
mata tak jauh dari tempatnya. Farhan mengalihkan pandangannya ke wajah amaknya
yang teduh. Sekali lagi memandang ke arah ayahnya yang tak acuh.
“Tak
ada lagi yang bisa kami bicarakan, Lis. Biarlah dia pergi, sudah merasa hebat
dia sekarang. Tak habis pikir Ambo
dengan jalan pikirannya. Tak ada rasa baktinya sedikit pun di rumah ini.”
“Betul,
Mak. Farhan akan pergi saja,” tak tega sebenarnya Farhan mengatakan ini kepada
sosok wanita lembut di sampingnya itu, “Farhan akan tinggalkan ijazah Farhan.
Maaf telah menyusahkan.”
“Tak
perlu. Waang baok sajo karateh tu,
tak ada guna juga buat Ayah.”
Kali
ini Farhan sudah tak sanggup lagi bicara. Dia hanya sebentar menatap sembab
wajah ibunya. Lalu beranjak ke kamarnya, mengemasi barang seadanya, termasuk
sebuah kamera DSLR yang dia menangkan dari mengikuti sebuah lomba fotografi
nasional.
Farhan
telah selesai dengan urusan tas punggungnya ketika Amak menyusulnya ke kamar.
“Nak
…,”
Farhan
menghentikan sejenak aktifitasnya, mengambil sebuah kemeja, lalu menghampiri
Amaknya.
“Tak
apa, Mak, Farhan akan secepat mungkin memberi kabar ke Amak.”
Amak
tak menjawab. Dia hanya sibuk menelusuri tiap inci wajah anak sulungnya itu.
Anak yang ia kasihi.Anak yang lahir saat cahaya duha telah benar-benar
menerangi seisiKampung Tandikek. Hari lahir yang kelak Amak tahu bahwa hari itu
adalah hari bumi. Anak yang dia yakini akan mampu menjadi mentari, memberikan
cahaya di alam sekitarnya.
“Amak
tahu, Nak …, Amak tahu anak Amak ini tak suka menyakiti bumi. Sedari kecil, waang suka sekali menggambar pohon dan
bukit Tandikek ini. Waang pula yang
protes mengapa Ayah suka menebang pohon. Amak tahu, Nak. Pohon rambutan di
belakang rumah kita itu saksinya. Waang sendiri
yang menanamnya, sekarang sudah berbuah lebat, Nak.”
Farhan
terdiam di tempatnya. Dibiarkannya kulit wajahnya dibasuh dinginnya kasih
sayang Amaknya. Sejenak kemudian, Farhan teringat dengan kemeja di tangannya.
“Farhan
akan rindu, Amak. Amak ingat, baju ini Farhan minta Amak jahitkan sendiri,
kan?” Farhan mencoba menghibur, “ini Farhan tinggalkan untuk Amak jikalau nanti
Amak rindu pada Farhan. Farhan akan pulang, Mak,” ujarnya seusai mengecup
lembut tangan Amaknya.
Farhan
meraih tas dan menyamankan letaknya di punggungnya.
“Farhan
pamit, Mak,” ujar Farhan sambil memeluk erat Amaknya. Farhan baru saja akan
beranjak ke ruang tamu ketika Yenni menahannya sambil terisak. Isak yang pilu
karena Yenni menangis tanpa suara.
“Iya,
Uda tahu Yenni sayang Uda. Uda pasti pulang. Maafkan Uda ya! Yenni baik-baik di
rumah, bantu Amak sebisanya. Uda janji akan beri kabar,” Farhan mengecup kening
adiknya, lalu beranjak berdiri,
“assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam
….” Seandainya Yenni mampu mengucapkannya, tentu dia akan mengatakannya
berbarengan dengan Amaknya. Sementara Ayahnya bergeming di kursi tamu sambil
menghabiskan sisa kretek di tangannya. Asapnya mengepul, mengaburkan bayangan
Farhan yang kian menjauhi rumah.
***
Mobil
angkutan itu penuh sesak. Farhan terbanting-banting di jok mobil bersama
puluhan penumpang lainnya. Sementara Farida, istrinya yang tengah hamil muda,
tampak tak menghiraukan suasana tersebut. Dia tertidur dengan nyaman, menyandarkan
kepalanya yang berbalut jilbab hijau itu di bahu Farhan.
Farhan
tak mampu memalingkan wajahnya dari kaca jendela. Terbayang dengan jelas wajah
Ayah, Amak, dan adiknya tiga tahun lalu. Kabar yang dia dengar semalam di
televisi membuatnya segera bergegas kembali ke tepian mandinya. Tergurat
kecemasan mendalam di wajahnya.
Setengah
jam kemudian, mobil angkutan yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah
gapura. Farhan dan istrinya turun bersama beberapa orang mahasiswa yang memakai
kaos bertuliskan “RELAWAN”.
“Da,
kita akan ke mana?” tanya Farida.
“Kita
akan ikut rombongan itu,” jawabnya sambil menunjuk ke arah rombongan relawan yang
tadi semobil dengan mereka, “kamu masih kuat kan, Sayang?” Farida hanya
mengangguk.
Belum
seberapa jauh mereka berjalan, Farhan sudah bisa menyaksikan
sebuah bukit di
depannya, telah longsor sebagian, menyisakan sebuah cerukan berwarna
kecoklatan. Longsoran tanahnya mampu ia saksikan hingga ke sebuah lembah di
bawahnya. Di sana ada sebuah sungai yang dulu biasa Farhan pakai untuk mandi
dan memancing ikan bersama anak-anak Kampung Cumanak.
“Maaf,
Bang. Selain tim relawan dilarang masuk,” seseorang berpakaian training mendekatinya setibanya di
lokasi bencana.
“Saya
dari media. Ini kartu pers saya. Saya telah memiliki izin meliput di sini,”
jawab Farhan mantap.
“Oh,
baiklah. Tapi apa Uni juga dari media,” ujarnya kepada Farida.
“Oh,
bukan. Dia istri saya,” tukas Farhan.
“Tak
apa, Bang. Farida tunggu di posko ini saja dulu. Farida masih agak capek juga,”
Farida mencoba meyakinkan suaminya yang tampak bimbang.
“Kamu
tak apa, Farida?” Farida tersenyum.
Farhan
segera bergegas menyusuri jalur evakuasi yang tadi pagi baru saja dibuat oleh
tim relawan. Farhan tak begitu fokus dengan apa yang dia bidik dengan
kameranya, hanya sekadar saja agar orang-orang yang ada di sana tak curiga
dengan keberadaannya.
Farhan
mendekat hingga ke batas ujung lembah tempat beberapa kampung pernah ada di
sana. Kini nyaris rata tertimbun material longsor.
Masya Allah …, lirih Farhan membatin.
Farhan
mengarahkan pandangannya ke arah kaki bukit, mengira-ngira di mana dahulu
kampung dan rumah Ayahnya berdiri. Sudah sulit sekali karena tanah di sana
telah amblas tak bersisa. Farhan mendekat hingga mencapai ke lokasi timbunan.
Hampir
saja Farhan nekat menerobos tanda dilarang masuk yang dipasang oleh tim relawan
jika saja matanya tidak menangkap sesuatu yang menyilaukan mata di depannya.
Farhan memicingkan matanya dari balik lensa kacamatanya. Dia berjalan mendekat
ke arah pantulan cahaya tadi. Matanya menangkap sebuah benda tersangkut di
ranting pohon yang tumbang. Farhan mengenali pohon itu.
Benda
menyilaukan itu sebagian tertimbun material lumpur. Dimbilnya benda tersebut.
Rupanya berupa rantai kalung, sudah putus dan tinggal sebagian. Matanya
mendadak gerimis seketika mengenali bandul kalung tersebut.
Yenni, adik Abang yang
cantik, ini Abang kirimkan sebuah kalung untuk Yenni. Mudah-mudahan Yenni suka.
Abang akan pulang tahun depan. Abang akan mengantarkan Yenni mendaftar sekolah
di kota.
Salam kangen untuk Ayah dan
Amak.
Uda Farhan
Begitu
bunyi sebuah pesan yang ia kirimkan setahun lalu untuk adiknya.
“Mak,
hari ini Farhan ulang tahun.”Farhan menangis sesenggukan. Ya, pohon yang
tumbang itu adalah pohon yang dulu ia tanam di belakang rumahnya.
“Ada
mayat di sini, dua orang perempuan!” Terdengar teriakan salah seorang relawan.
Farhan masih bergeming di tempatnya. Hatinya gerimis.[]
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !